Sabtu, September 13, 2008

Anak dan Cita-cita


Dan dia berkata;
Anakmu bukanlah anakmu.
Mereka putra-putri kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka datang melalui engkau, tapi bukan dari engkau
Dan walau mereka ada bersamamu, tapi mereka bukan kepunyaanmu
Kau dapat memberi mereka cinta kasihmu, tapi tidak pikiranmu
Sebab mereka memiliki pikirannya sendiri.
(halaman 22 dari bukunya Kahlil Gibran – Sang Nabi)

Adalah seorang ibu yang mempunyai keinginan dan ambisi. Ingin anak (perempuan) sulungnya kuliah di Fakultas MIPA. Dia bukan dosen FMIPA. Entah karena apa dia memaksakan keinginannya kepada anaknya. Tanpa mendengar apa keinginan anaknya, si ibu langsung memerintahkan agar si anak memilih Fakultas MIPA. Awalnya memang si anak berhasil kuliah di Fakultas MIPA sesuai keinginan sang ibu. Masalah baru mulai muncul saat si anak mulai kuliah. Pada tengah semester, kuliahnya mulai keteteran. Berbagai berita mulai muncul, penyebab si anak mogok meneruskan kuliah. Ada yang bilang, si anak baru saja putus dari pacarnya yang satu jurusan dengannya. Yang lain bilang, aksi tersebut adalah aksi ‘protes’ si anak atas ke-sewenang-wenang-an sang ibu yang memaksakan kehendaknya. Bahkan, sampai deadline semester (semester 15), sang anak belum juga mau menyelesaikan kuliahnya.

Ada pula cerita lain. Tentang seorang ayah yang memaksakan keinginan dan ambisinya untuk menyekolahkan (baca:kuliah) anaknya di jurusan Teknik. Si ayah ingin ada anaknya yang meneruskan ‘perjuangan’nya dulu, sekolah di jurusan Teknik. Dan yang terkena imbasnya adalah, sang anak terakhir, anak perempuannya. Dari awal sekolah (baca:SMA) si anak sudah diultimatum agar memasuki jurusan IPA saat kelas 3 nanti. Semua usaha telah dilakukan sang ayah. Dari mengikutsertakan si anak untuk belajar dalam program Bimbel yang ternama, sampai menyertakan les privat tentang ilmu-ilmu eksak. Hanya ilmu-ilmu eksak IPA. Ironisnya, si anak gagal masuk jurusan IPA pada program penjurusan masuk ke kelas 3. Sampai akhirnya si anak memilih kuliah di jurusan IPS. Eksaknya IPS. Tidak mengikuti jejak sang ayah.

Dua kasus yang hampir mirip. Jadi terpikir juga akhirnya. Bukan bermaksud untuk menghakimi para orangtua. Mungkin maksud mereka baik. Mereka tidak ingin anak-anaknya mengalami kesulitan saat memasuki dunia kerja, nantinya. Tidak ingin anak-anaknya mengalami kesulitan seperti apa yang pernah mereka alami. Hanya saja caranya yang tidak tepat. Caranya yang salah. Tidak inginkah mereka mendengar suara hati dan keinginan dari anak-anaknya? Apakah anak-anaknya juga mempunyai keinginan yang sama seperti mereka? Orang kembar saja mempunyai keinginan yang berbeda, apalagi anak dan orang tua.
Dan hal ini nyaris terjadi lagi pada seorang teman. Masalah sepele, sebenarnya. Dia menginginkan anaknya mengikuti kegiatan ekstrakulikuler yang pernah dia lakukan sewaktu kecil dulu. Karena anggapannya, kegiatan tersebut bermanfaat untuk tumbuh kembang sang anak. Padahal, jelas-jelas sang anak ingin mengikuti kegiatan yang lain, yang berbeda dengan pilihan sang ibunda.

Tidak ingatkah bahwa anak, bukanlah miliknya sendiri yang bisa diatur-atur semaunya? Tidak ingatkah bahwa anak adalah milik Tuhan? Tuhanlah yang lebih berhak mengatur segalanya?
Entahlah.. Semoga dia sadari.. Semoga mereka sadari..

1 komentar:

anantyo satriyo mengatakan...

ngarti bu guru.. btw, ini real story, bukan?? ;P