Sabtu, November 29, 2008

Keprihatinan Terhadap Dunia Anak

Kayaknya judul postingan ini terlalu serius ya? Tapi sebetulnya kita (tepatnya saya dan teman saya yang notabene mahasiswa & yang telah berkeluarga) merasa prihatin dengan dunia anak belakangan ini. Masih ingat dengan cerita pernikahan seorang pria paruh baya dengan gadis di bawah umur yang menggemparkan kota Semarang? Sebenarnya saya tidak begitu mengikuti perjalanan kasus tersebut. Hanya, saat membaca sebuah harian yang cukup terkenal di kota Semarang, saya lumayan terkejut juga. Seorang anak berumur kurang lebih 14 tahun sudah mengerti tentang arti pentingnya material (harta kekayaan) dibanding masa depannya sendiri. Karena dalam pemberitaan tersebut, dikatakan dia (sang calon istri yang masih di bawah umur) menangis dan tidak ingin berpisah dengan calon suaminya (atau sudah menjadi suami?) dengan alasan, dia sudah dijanjikan akan mendapat jatah sebuah mobil eksklusif dan sebuah perusahaan. Belum lagi harta kekayaan dalam bentuk lain. Lagi-lagi ironis. Entah siapa yang harus disalahkan. Bahkan bujukan-bujukan dari Psikolog favorit saya, Kak Seto tidak mampu membuka mata hatinya. Baru, setelah Kak Seto, membujuk untuk kesekian kalinya dan menjelaskan UU tentang Perkawinan dan sanksi yang akan didapatnya bila tetap menjadi istri pengusaha kaya tersebut, dia terperanjat dan menangis terguguk. Dan kemudian, dia baru mau dipisahkan dengan syarat hanya dipisahkan sampai dia berusia 17 tahun.

Belum lagi game-game di komputer yang saat ini sedang marak. Teman saya pernah dilapori anaknya tentang game baru yang dia dapat dari temannya. Teman saya (yang telah menjadi ayah) benar-benar syok saat tau game “seru” yang dimaksud sang anak. Padahal anaknya masih duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Teman saya mencoba menjelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami sang anak, walaupun dia sendiri sempat merasa kesulitan untuk menjelskan agar sang anak benar-benar mengerti dan tidak memainkan atau tidak menerima sembarang mainan dari temannya tanpa sepengetahuannya.

Ya, itu baru beberapa contoh kasus yang memprihatinkan dalam dunia anak. Kasus yang lainnya adalah tayangan televisi. Bukannya saya terlalu nasionalis atau memandang mereka tidak berhak melakukan itu. Hanya saja, saya merasa mereka belum pantas mereka melakukan itu. Dari contoh kecil saja. Misalnya, tayangan (lagi-lagi acara televisi yang tidak mendidik) reality show untuk penyanyi cilik yang berbakat. Ga sengaja melihat acara tersebut. Dan hati kecil saya jadi trenyuh, rasanya. Apakah anak-anak saya kelak juga akan seperti itu? Meniru artis dewasa, bahkan lagu untuk usia dewasa pun bisa mereka bawakan. Kalau yang menyanyi anak-anak remaja, itu sudah biasa. Anak-anak remaja sudah mengalami masa-masa pubertas atau paling tidak mereka sudah sedikit tau apa makna lagu itu. Tapi anak-anak? Yang usianya lebih banyak masih TK atau SD? Bukannya senang mendengar mereka menyanyi, saya justru merasa prihatin.

Kemana ya lagu anak-anak jaman dulu yang sering saya nyanyikan? Seperti lagu Kelinciku, Pelangiku, Kasih Ibu, Becak, dsb. Saya malah jadi kangen pengen dengar lagu itu lagi dinyanyikan di televisi. Tapi, ada ga ya, acara televisi yang mau menayangkan lagu-lagu tersebut?

Tidak ada komentar: